Bendera Berkibar Marquee Tag - http://www.marqueetextlive.com

Assalamu'alaikum Warahmatullah.. Krueseumangat...Selamat datang di Blog Partai Aceh DPW Aceh Rayeuk semoga anda puas dengan sajian berita dari kami untuk anda. Sebagai sumbangsih berita dari pengunjung ke Blog Partai Aceh DPW aceh Rayeuk, pengunjung dapat mengirimkan berita untuk kami dan kami akan mengecheck sebelum memposting ke halaman Blog ini, bagi siapa saja yang ingin menyumbang berita bisa mengirimkan ke alamat email kami : dpwacehrayeuk@gmail.com

Senin, 05 November 2012


TRAGEDI PEMBANTAIAN MASSA PULOT-COT JEUMPA                 
SEBUAH PERISTIWA PEMBANTAIAN RAKYAT ACEH OLEH TNI REPUBLIK INDONESIA DAN PEMAKSAAN PENERAPAN PANCASILA DI ACEH DULU DAN SEKARANG BAGIAN PERTAMA (I)
Soekarno yang dikenal masyarakat, sebagai penggagas Pancasila, dan kemudian menjadi Presiden pertama Republik Indonesia. Dan juga Soeharto yang menjadi arsitek Orde Baru, adalah orang-orang yang mengganggap dirinya sebagai pengawal setia Pancasila. Dari kedua mantan presiden RI ini, kita ingin memperoleh potret yang jelas tentang hakekat Pancasila dalam penerapan-nya di tanah air. Di sini kita akan mencoba menyoroti kedua tokoh tersebut dalam membuat kebijakan mereka yang didasarkan pada Pancasila, terhadap umat Islam di Aceh khususnya, dan kaum muslimin di seluruh Indonesia pada umumnya.
Untuk menyoroti hal tersebut, di bawah ini, kami kutipkan tulisan Al-Chaedar dalam bukunya: Aceh Bersimbah Darah, khususnya mengenai bagaimana penerapan Pancasila serta akibat-akibat yang ditimbulkannya, baik di masa orla, orba maupun sekarang ini.
Pancasila di Masa Orla¹ Pada masa Orde Lama muncul di Aceh apa yang terkenal dengan peristiwa Pulot-Cot Jeumpa bulan Maret 1954, sehingga peristiwa ini pun disebut peristiwa Mar. Bulan Maret bagi orang Aceh, tidaklah sesuci megah dan agungnya peringatan peristiwa 11 Maret 1966 dalam kerangka pikir Orde Baru, karena kekejaman tentara Republik di bulan itu telah demikian traumatis bagi rakyat Aceh. Dalam peristiwa Pulot-Cot Jeumpa ini, berkaitan dengan Darul Islam (1953-1964) di Aceh, tentara Nasional Indonesia dengan brutal membantai anak-anak bayi, wanita dan orang-orang tua yang sudah uzur. Angkatan perang Republik ini memang terlihat begitu kuat dan perkasanya di hadapan “musuh-musuh” hamba la’eh (kaum lemah) di Aceh ini. Di headline Surat kabar “Peristiwa” yang terbit di Koetaradja (Kini Banda Aceh) memuat berita tragis tentang pembantaian manusia secara keji dan tak berperikemanusiaan: “99 orang penduduk di daerah Pulot Cot Jeumpa (Aceh Besar) yang tidak berdosa dibantai oleh alat negara² Berita yang dikutip oleh beberapa harian di Jakarta, serta menimbulkan beberapa atmosfir kesedihan masyarakat Aceh di Jakarta, serta menimbulkan beberapa pertanyaan. Apakah benar, alat negara membantai rakyatnya sendiri, lebih-lebih rakyat yang tidak berdosa? Apakah mungkin ada kekejaman yang demikian biadab terjadi di Tanah air ini?. Dalam setiap peperangan apa saja bisa terjadi. Tidak mustahil ayah membunuh anaknya, demikian juga sebaliknya.
Betapa terkejutnya dan prihatinnya orang-orang Aceh di Jakarta, demikian juga di tempat-tempat lain mendengar berita peperangan di Aceh bulan September 1953, kurang lebih enam bulan sebelum berlalu hampir dapat dilihat sebagai suatu unjuk rasa politik dengan memakai cara seccesionist movement, tetapi peristiwa Pulot-Cot Jeumpa telah merupakan pembunuhan dengan sengaja dan meriah terhadap rakyat yang lemah oleh sebagian alat negara yang tidak bertanggung jawab.
Sudah barang tentu pemerintah pada waktu itu dibawah Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo (dari Partai Nasional Indonesia/PNI) membantah keras bahwa alat negara telah melakukan pembunuhan massal seperti diberitakan oleh sementara surat kabar baik yang terbit di daerah maupun yang di Jakarta. Apakah yang sebenarnya yang telah terjadi di tempat yang dinamakan Pulot Cot Jeumpa. Dua desa kecil dalam kabupaten Aceh Besar, di daerah kecamatan Lho’ Nga kurang lebih 15 km dari ibu kota propinsi Aceh Koetaraja. Desa itu didiami hampir 100% para nelayan di tepi pantai samudera Indonesia yang indah. Peristiwanya dikisahkan sebagai berikut.
Pada suatu hari di bulan Maret 1954 dalam rangka operasi militer mengejar pemberontak, melewati desa kecil dan guyub sebuah iring-iringan truk militer tersebut. Sesampainya di sebuah jembatan yang terletak di kampung Pulot, secara mendadak iringiringan militer itu dihadang oleh gerombolan pemberontak. Tembakmenembak terjadi antara militer dengan pemberontak. Korban pun berjatuhan di kedua belah pihak, sedang gerombolan pemberontak melarikan diri ke hutan melalui kedua kampung yang namanya menjadi tenar itu. Sudah barang tentu militer tidak bisa tinggal diam menghadapi hadangan itu. Mereka segera meminta tambahan bantuan tenaga dari Koetaraja. Hari ini juga diadakan operasi besar-besaran dalam kampung Pulot dan Cot Jeumpa, dalam rangka mengejar pejuang DI/TII yang diduga keras bersembunyi di sekitar kampung tersebut.
Di sini mulainya tragedi itu. Rakyat dari kedua kampung itu tidak ada seorang pun yang dapat memberi keterangan, ke mana larinya pemberontak yang menghadang tadi. Semua mereka mejawab tidak tahu. Jawaban-jawaban yang kurang mem-bantu itu, membuat suasana menjadi panik. Batalyon 142 lantas mengamuk dan secara membabi buta memuntahkan peluru senjatanya ke arah rakyat, sasaran tak berdosa itu. Akibatnya 99 orang rakyat sipil meninggal dunia. Tidaklah terlalu salah jika banyak orang berkesimpulan bahwa Tentara Nasional Indonesia hanya bertujuan membunuh rakyat semata, bukan melindunginya. Apalagi dengan berada di bawah kepemimpinan Jendral-jendral non muslim, tujuan itu semakin jelas “Pemberangusan embrio muslim dimanapun diseluruh Indonesia”.
 Serangan terhadap muslim di Indonesia memang menyedihkan, tidak hanya cukup dengan serangan-serangan ideologis, tapi juga serangan-serangan fisik. Leher orang-orang Muslim dianggapnya lebih murah ketimbang leher seekor kambing sehingga dapat dengan leluasanya kaum Muslimin dimana pun digorok hidup-hidup, sembari menitipkan pesan bahwa si mati adalah GPK atau pemberontak. Di Aceh kebutuhan yang hampir terlupakan dalam adu kekuatan antara pasukan pemerintah dan Darul Islam kembali menarik perhatian dunia luar ketika sebuah surat kabar setempat, Peristiwa, menulis kepala berita “Darah membanjiri tanah Rencong” pada awal maret.
Surat kabar itu memberitakan hampir seratus orang penduduk desa di kabupaten Aceh Besar dibantai oleh tentara dalam dua insiden pada akhir pebruari; kejadian ini sebagai peristiwa Pulot-Cot Jeumpa. Peristiwa pertama terjadi pada tanggal 26 pebruari ketika satu peleton pasukan yang kalap dari Batalyon 142 (dari Sumatera Barat) secara semena-mena menembak mati dua puluh lima petani di Cot Jeumpa, sebuah kampung dekat Koetaraja. Kejadian ini diikuti oleh kekejaman lainnya dua hari kemudian di sebuah yang berdekatan Koetaraja juga yaitu kampung Pulot Kecamatan Leupueng, di mana anggota Batalyon yang sama membantai enam puluh empat nelayan, yang berusia sebelas sampai seratus tahun, dan melukai lima orang lainnya. Surat kabar ini juga mem-beritakan bahwa dalam dua peristiwa tersebut tentara memasuki dua kampung itu dan mengumpulkan semua pria dari rumah-rumah atau tempat kerja mereka dan menembak mereka tanpa selidik terlebih dahulu, sementara jalan raya ditutup bagi lalu lintas. Mereka yang luka-luka atau yang tidak berada di desa ketika pembantaian itu berlangsung menyembunyikan diri dan melapor kejadian itu kepada surat kabar tersebut. Bersamaan dengan itu muncul teror yang mengancam dari tentara. Kenyataan itu telah dipahami secara salah bahwa pembantaian merupakan tindakan balas dendam atau serangan Darul Islam terhadap suatu unit tentara dari Batalyon 142 beberapa hari sebelumnya di dekat kedua kampung tersebut. Dalam serangan itu lima belas tentara yang berasal dari Sumatera Barat telah terbunuh. Dendam terhadap serangan itu menyebabkan sebuah unit lain dari Batalyon tersebut, dibawah pimpinan Letnan Munir Zein, mengumpulkan semua pria yang ada di dalam kedua kampung itu dan membunuh mereka. Mengingat kekejaman pasukan dari Sumatera Barat dan Tapanuli dalam operasioperasi mereka di Aceh, sebenarnya tidak ada alasan bagi kita untuk meragukan terjadinya pembantaian. Banyak anggota dari unit-unit Sumatera Barat terlibat dalam segala macam kekejaman, mulai dari pemerkosaan, ancaman, perampasan, judi, penyiksaan, sampai pembunuhan. Seakan-akan menonjolkan superio-ritas etnis mereka, dalam setiap kesempatan anggota-anggota pasukan tersebut membanggakan diri kepada penduduk desa “Ini anak Padang”.
Agaknya hal ini mengungkapkan antagonisme antara etnis di antara suku Minangkabau dan Aceh, di mana rakyat Aceh, sebagai akibat pengalaman sejarah, merasa diri lebih unggul atas suku Minangkabau yang pernah takluk pada mereka di abad-abad sebelumnya. Sebenarnya, ini hanyalah strategi militer yang menganut sistem cross-cutting integration a la Napoleon dalam memecah belah suatu bangsa dan juga pernah diterapkan oleh Belanda terhadap negeri jajahannya yaitu taktik devide at empera (Politik adu domba). Sistem ini pulalah yang dianut rezim Orde Lama Soekarno yang namanya begitu “harum” di depan hidung orang-orang yang awam politik.
Mula-mula kejadian ini dicoba hendak ditutup-tutupi, tetapi harian Peristiwa Aceh, yang terbit di Koetaraja membeberkan kejadian tersebut, sehingga great expose di Jakarta, Medan, Bandung dan Yogyakarta. Ada beberapa orang Aceh yang tinggal di Luar Negeri ingin membawa masalah itu ke forum PBB di Nem York. Masyarakat Aceh di Jakarta, melalui perhim-punan masyarakat Aceh Taman Iskandar Muda (TIM), mulai berfikir untuk mencari penyelesaian terbaik bagi bangsa ini. Namun, idialisme hanya sampai tahap awal tentang bagimana baiknya mengadakan “pendekatan” dengan pemerintah pusat untuk menanyakan sampai berapa jauh kebenaran berita yang dimuat di surat-surat kabar. Orang-orang politik, terutama yang duduk di DPR seperti Amelz dan ustadz Nur El Ibrahimy bertanya lewat forum DPR. Orang-orang Aceh yang duduk dalam pemerintahan, juga menjajaki melalui instansi masing-masing . Kalau benar, bagaimana pertanggung jawaban oknum yang terlibat dalam peristiwa tersebut.Yang lebih penting, bagaimana hal yang demikian tidak terulang lagi.
Orang-orang Aceh yang terdiri dari rakyat biasa, menanggapi peristiwa itu dengan emosi yang meluap-luap. Dalam menghadapi Peristiwa Pulot-Cot Jeumpa ini, orang-orang Aceh di Jakarta kompak. Satu saran mereka yang positif, yaitu semuanya harus diselesaikan melalui jalur hukum yang berlaku. Padahal Negara yang berdasarkan hukum ini sama-sekali “tidak memakai hukum” untuk menyelesaikan persoalan-persoalan politik. Semuanya cukup dengan sebuah rekayasa, sebuah “musyawarah yang dipaksakan”. Pengurus Taman Iskandar Muda mengadakan rapat pleni di Jalan Tosari 29 sepatutnya diambil Jakarta membicarakan langkah-langkah yang oleh pengurus, baik untuk intern menghadapi orang-orang Aceh di Jakarta maupun ekstern menghadapi pemerintah pusat. Juga diperbincangkan sikap kebersamaan apa yang selayaknya ditempuh oleh Badan Kontak Organisasi Aceh yang baru dibentuk beberapa bulan sebelumnya.
Tiga puluh delapan hari setelah meletus Peristiwa Daud Beureuh, Perdena Menteri Ali Sostroamidjojo memberi Keterangan Pemerintah mengenai peristiwa tersebut di dalam rapat pleno terbuka DPR-RI pada tanggal 28 Oktober 1953. Pemerintah menganggap bahwa apa yang terjadi di Aceh pada tanggal 21 September itu adalah Pemberontakan Daud Beureuh dengan segelintir kawan-kawan dan pengikut-pengikutnya, bukan pemberontakan rakyat Aceh. Akan tetapi kalau kita mengetahui bahwa hampir seluruh rakyat Aceh terlibat dalam pemberontakan itu, baik secara aktif maupun dengan memberikan bantuan di belakang layar, demikian juga seluruh instansi mulai dari pamong raja (bupati, wedana sampai kepada camat) jawatan-jawatan terutama jawatan agama sampai kepada polisi, banyak orang beranggapan bahwa pemberontakan itu adalah pemberontakan rakyat Aceh yang total.
Keterangan Pemerintah bagian kedua, yaitu yang mengenai latar belakang peristiwa, menge-sankan seakan-akan Keterangan Pemerintah ini duplikat dari laporan yang disodorkan oleh golongan yang pada waktu itu disebut “sisa-sisa feodal”, yaitu laporan yang selalu dilontarkan oleh mereka terhadap Teungku Muhammad Daud Beureueh yang berjumlah 4000 orang itu adalah sumbangan dari Borsumij, suatu perusahaan Belanda. Bagaimana dapat masuk diakal, PUSA mau menerima sumbangan dari musuhnya? Bagimana pula Borsumij mau memberi sumbangan kepada musuh negaranya? Dikatakan pula bahwa PUSA menerima sumbangan dari Amerika Serikat sebanyak $ 15.000.000,00 untuk membendung komunisme. Seterusnya dikatakan bahwa pimpinan-pimpinan PUSA mempunyai saham dalam NV Republik Indonesia. Sedang dalam rancangan keterangan Pemerintah yang terakhir (kode S1171/53 yang terdiri dari 22 butir) sebagian daripada tuduhan-tuduhan yang keterlaluan itu telah dihi-langkan karena jelas benar kebohongannya.
Kemudian pada tanggal 2 November 1953 Pemerintah berdiri lagi di depan DPR-RI memberi jawaban atas pandangan umum para anggota yang telah berbicara pada babak pertama mengenai Keterangan Pemerintah yang diberikan pada tanggal 28 Oktober 1953. Satu hal yang sangat tidak jujur bahwa setelah selesai Pemerintah meng-ucapkan jawabannya, pemandangan umum babak kedua langsung ditutup. Para anggota tidak diberi kesempatan lagi untuk mengucapkan peman-dangan umumnya pada babak kedua untuk menguji jawaban Pemerintah.Hal itu merupakan pengurangan hak hak demokrasi.
Seterusnya pada tanggal 13 April 1954 untuk ketiga kalinya Pemerintah memberi keterangan di dalam rapat paripurna terbuka DPR-RI mengenai peristiwa Cot Jeumpa, yang oleh harian Peristiwa yang terbit dari Kutaraja disebut “banjir darah yang membasahi bumi Tanah Rencong”, karena 64 orang penduduk yang tidak berdosa telah menjadi korban tindakan alat negara yang tidak bertanggung jawab. Dari keterangan Pemerintah, baik yang di-ucapkan di dalam DPR, maupun yang diberikan di luar DPR, dapat diambil kesimpulan bahwa :
dalam penyesuaian Peristiwa Daud Beureuh ini Pemerintah mempergunakan tangan besi, yaitu kekerasan senjata untuk membasmi yang memberontak dengan senjata Republik Indonesia.
Anggota-anggota oposisi (Mr. dengan mengambil tindakan “gerombolan-gerombolan” liar terhadap Pemerintah Negara Kasman Singo-dimedjo, Mr. Mohammad Dalijono, Amelz dan M. Nur El Ibrahimy) yang tidak menyetujui kebijak-sanaan politik Pemerintah mengenai Peristiwa Daud Beureueh, oleh Perdana Menteri Ali Sastro-amidjojo dikatakan “seakan-akan memberi kesan hendak membela pemberontak yang sudah nyata-nyata mengenai penulis merugikan negara dan bangsa kita.” Khusus dalam keterangannya yang terakhir sebelum kabinetnya jatuh, Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo mencap M. Nur El Ibrahimy “sebagai pembela pemberontak yang setia”. “Tak ada kesalahan yang M. Nur El Ibrahimy perbuat, selain menentang kebijaksanaan Pemerintah dan mengupas tanpa tedeng aling-aling tindakan alat-alat negara yang melampaui batas-batas hukum dan melanggar garis-garis peri-kemanusiaan terutama yang dilakukan oleh anak buah Simbolon yang tergabung dalam Batalyon B dan anak buah Mayor Sjuib yang tergabung dalam Batalyon 142. Mereka ini terlibat dalam pembantaian di Cot Jeumpa dan sekitarnya (Pulot/Leupung dan Cot Jeumpa/Kroeng Kala) yang menewaskan 99 orang penduduk yang tidak berdosa, sehingga menimbulkan protes yang keras dari seluruh rakyat Aceh terutama pelajar dan mahasiswa.

Pada mulanya pemerintah membantah dengan keras adanya tindakan alat-alat negara yang melampaui batas itu. Akan tetapi kemudian tatkala terjadi pemberontak PRRI (Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia) dan Simbolon terlibat di dalamnya, Soedibjo – Menteri Penerangan pada waktu itu mengutuk dan mencaci maki Simbolon dengan membongkar perbuatan anak buahnya yang telah melakukan kekejaman dan pembantaian terhadap rakyat Aceh pada waktu mereka bertugas memulihkan keamanan di daerah Aceh dalam rangkaian Peristiwa Daud Beureuh.
Dari pihak oposisi sejak awal telah memperingatkan pemerintah bahwa tindakan kekerasan semata-mata apalagi jika disertai dengan caci maki dan tuduhan-tuduhan yang tidak beralasan ter-hadap Tengku Muhammad Daud Beureueh dan kawan-kawan tidak akan segera dapat menye-lesaikan persoalan, malahan sebaliknya mungkin akan meruncing suasana dan mengakibatkan penyelesaian menjadi berlaruh-larut. Akan tetapi, dengan lantang pemerintah menyatakan bahwa keamanan akan dapat dipulihkan pada akhir tahun 1953. Ternyata dugaan pemerintah meleset sama sekali. Hal itu diakui oleh Komisi Parlemen ke Aceh yang diketuai oleh Sutardjo Kartohadikusumo dan oleh beberapa orang wartawan yang pernah meninjau Aceh di antaranya Hasan dari Abadidan Asa Bafagih dari P emandangan
Kemudian, setelah Takengong dan Tangse diduduki, pemerintah merasa optimis bahwa keamanan akan dipulihkan pada bulan Maret 1954. Ternyata anggapan pemerintah ini pun meleset. Bahkan, sampai Kabinet Ali jatuh pada tahun 1955, keamanan di Aceh belum dapat dipulihkan. Benar, Tangse dan Takengong diduduki pasukan pemerintah maka pertempuran besar-besaran yang dimulai 21 September 1953 tidak terjadi lagi. Akan tetapi, sejak saat itu tejadilah apa yang dinamakan “gangguan keamanan” terus menerus di mana-mana, bukan saja di kampung-kampung akan tetapi juga di kota-kota. Terjadi penyerangan kecil-kecilan terhadap penghadangan-penghadangan terhadap rangan terhadap konvoi-konvoi yang mengangkut perbekalan. pos-pos tentara, dan patroli-patroli dan penyemembawa pasukan atau Dipandang dari segi kemiliteran pada saat itu potensi kaum pemberontak memang tidak mem-bahayakan lagi, Akan tetapi, dilihat dari sudut keamanan rakyat, gangguan itu langsung menimpa diri mereka .Kalau dalam taraf pertama hanya alat-alat negara (tentara dan satuan Brimob) atau gerombolan yang menjadi sasaran, maka dalam taraf yang kedua sasaran langsung adalah rakyat, baik dari alat-alat negara, maupun adri pihak gerombolan.
pertama berpendapat bahwa potensi militer gerombolah sudah patah, mereka sudah lumpuh dan terpecah-pecah serta terdesak ke hutan-hutan dan mengalami kelaparan. Yang kedua, berpendapat bahwa gerombolan mengubah taktik, mereka tidak mau memboroskan tenaga dengan jalan menghindari pertempuran besar-besaran. Mereka melakukan pengadaan-pengadaan yang sedapat mungkin efektif dengan kekuatan yang sekecil-kecilnya serta mengadakan ganggguan keamanan yang merupakan pula perang urat saraf. Pemerintah dan pejabat-pejabat di pusat lebih mempercayai pendapat yang pertama sehingga timbul keamanan segera rasa optimistis yang berlebih-lebihan bahwa pulih kembali. Akan tetapi mereka langsung menghadapi peristiwa di daerah yaitu Staf Keamanan di Koetaraja memandang bahwa keadaan dalam tahap cukup kritis dan lebih membahayakan. Selain rakyat yang langsung menjadi sasaran kedua pihak, roda pemerintahan tidak bisa berjalan sebagaimana mestinya. Pamongpraja yang diangkat oleh Gubernur Sumatra Utara, Mr. S. M. Amin, untuk mengisi lowongan yang ditimbulkan oleh pem-berontak, tidak melakukan tugasnya karena 80% daripadanya terdiri “sisa-sisa feodal”. Mereka tidak berani menempati posnya yang jauh dari kota karena takut kepada gerombolan. Mengenai hal ini Bupati A. Wahab, Ketua/Koordinator Staf Keamanan berkata, “ Tetapi yang paling menyukarkan ialah Pamong praja atau pegawai yang telah ditetapkan untuk suatu tempat tidak ada yang berani tinggal di tempatnya itu kalau tidak dikawal oleh alat Negara yang bersenjata.”
Pendeknya, gangguan keamanan yang oleh Pemerintah diharapkan dapat berakhir dalam waktu yang singkat, sampai kabinet Ali Sostroamidjojo jatuh pada tahun 1955 belum teratasi. Pada permulaan bulan September 1954, genap setahun sesudah pecahnya Peristiwa Daud Beureuh, seperti halilintar di tengah hari ma-syarakat Indonesia di Ibukota RI termasuk Kabinet Ali Sostroamidjojo dikejutkan oleh munculnya seorang putera Aceh bernama Hasan Muhammad Tiro berdiam di New York, sebagai mahasiswa fakultas hukum pada Colombia Universty, dan sebagai seorang staf perwakilan Indonesia di New York, dia tidak pernah dikenal oleh masyarakat Indonesia apalagi oleh masyarakat internasioanal. Ia bertempat tinggal di 454 Riverside Drive, New York dan mempunyai kantor di jalan terbesar yaitu di 489 Fifth Avenue, New York 17. Sejak bulan September 1954 dengan tiba-tiba nama Hasan Muhammad Tiro bukan saja dikenal oleh masyarakat Indonesia, akan tetapi juga oleh dunia internasional. Ia muncul sebagai “Duta Besar Republik Islam Indonesia” di Amerika Serikat dan Perserikatan Bangsa-Bangsa, dengan sebuah surat terbuka kepada Perdana Ali Sostroamidjojo. Surat ini disiarkan oleh suat-surat kabar Amerika dan surat-surat kabar Indonesia yang terbit di Jakarta seperti Abadi, Indonesia Raya dan Keng Po.
Dalam surat ini Hasan Muhammad Tiro menuduh Pemerintah Ali Sostroamidjojo telah menyeret bangsa Indonesia ke dalam lembah keruntuhan ekonomi dan politik, perpecahan dan perang saudara, serta memaksa mereka bunuh-membunuh sesama saudara. Di samping itu pemerintah Ali Sostroamidjojo telah melakukan pula kejahatankejahatan genocideterhadap rakyat sipil Aceh. Suatu tindakan biadab dan primitif yang dilakukan oleh sebuah rezim negara Republik modern di bawah naungan Pancasila di mana hal ini sudah tentu teramat sangat bertentangan dengan Piagam Perserikatan BangsaBangsa. Isi surat Hasan Muhammad Tiro itu adalah sebagai berikut:
N ew York, 1September 1954
Kepada Tuan Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo  
Jakarta
Dengan hormat,
Sampai hari ini sudah lebih setahun lamanya Tuan memegang kendali pemerintahan atas tanah air dan bangsa kita. Dalam pada itu alangkah sayangnya, kenyataan-kenyataan sudah membuktikan bahwaTuan,bukan saja telah tidak mempergunakan kekuasaan yang telah diletakkan di tangan Tuan itu untuk membawa kemakmuran, ketertiban, keamanan, keadilan dan persatuan di kalangan bangsa Indonesia, tetapi sebaliknya Tuan telah dan sedang terus menyeret bangsa Indonesia ke lembah keruntuhan ekonomi dan politk,  kemelaratan, perpecahan, dan perang saudara. Belum pernah selama dunia berkembang, tidak walaupun di masa penjaahan, rakyat  Indonesia dipaksa bunuh membunuh antara sesama saudaranya secara yang begitu meluas sekali sebagaimana sekarang sedang Tuan paksakan di Aceh, di Jawa Barat, di JawaTengah, di Sulawesi Selatan, di Sulawesi Tengah dan Kalimantan. Ataukah zaman penjajahan baru sudah datang ke  Indonesia di mana hanya kaum Komunis yang mengecap kemerdekaan, sedang yang lain-lain harus dibunuh mati?
Lebih dari itu lagi, Tuanpun tidak segan-segan memakai politk “pecah dan jajah” terhadap suku-suku bangsa di luar Jawa. Bahkan untuk menghancurkan persatuan dikalangan suku bangsa Aceh, Tuan pun mengaku begitu membencinya. Tetapi ketahuilah, politk kotor Tuan ini bukan saja sudah gagal, bahkan karenanya, kami rakyat Aceh semakin bersatu padu menentang tiap penindasan dari regime Komunis–Fasis Tuan. Lebih rendah di segala-galanya, Tuan sekarang sedang melakukan kejahaan politik yang sejahat-jahatnya yang bisa di perbuat dalam negara yang terdiri dari suku-suku bangsa sebagai hal nya Indonesia mengadu-dombakan satu suku bangsa dengan suku bangsa yang lain, mengadudombakan suku bangsa Kristen dengan sukubangsa Islam, suku Djawa dengan suku Ambon dan suku Batak Kristen dengan suku Aceh Islam. DanTuan mengatakan bahwaTuan telah memperbuat semua ini atas nama persatuan nasioanal dan patriotsme! Rasanya tak ada suatu contoh yang lebih tepat dari pepatah yang mengatakan bahwa patriotisme itu adalah tempat perlindungan yang terakhir bagi seorang penjahat!
Sampai hari ini sembilan tahun sesudah tercapainya kemerdekaan bangsa, sebagian besar bumi Indonesia masih terus digenangidarah dan air mata putera-puterinya yang malang, diAceh, di Jawa Barat, di Jawa Tengah, di Sulawesi Selatan, di Sulawesi Tengah dan Kalimantan, yang kesemuanya terjadi karenaTuan ingin melakukan pembunuhan terhadap lawan-lawan politk Tuan. Seluruh rakyat Indonesia menghendaki penghentian pertum-pahan darahyang maha kejam ini sekarang juga, dengan jalan musyawarah antara kita sama kita.TetapiTuan dan kaum Komunis lainnya, sedang terus mengeruk keuntung-an yang sebesar-besarnya dari kesengsaraan rakyat ini, dan hanya Tuan sendirilah yang terus berusaha memperpanjang agresinya terhadap rakyat Indonesia ini. Dan sekarang, belum puas dengan darah yang sudah tertumpah, harta benda yang sudah musnah, ratusan ribu jiwa yang sudah melayang, Tuan sedang merencanakan pula buat melancarkan agresi yang lebih hebat, dahsyat dan kejam lagi terhadap rakyat Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Jawa  Barat, Jawa Tengah, Kalimantan dan Aceh. Tetapi Tuan akan menge-tahui dengan segera bahwa jiwa merdeka, harga diri, dan kecintaan suku-suku bangsa ini kepada keadilan, tidak dapat tuan tindas dengan senjata apa pun juga. Rakyat Indonesia sudah merebut kemerdekaannya dari penjaah Belanda. Pastilah sudah mereka tidak akan membiarkan Tuan merebut kemerdekaan itu dari  mereka, juga tidak akan membiarkan Tuan menukarnya dengan penjajahan medel baru.
P ersoalan yang dihadapi Indonesia bukan tidak bias dipecahkan, tetapiTuanlah yang mencoba membuatnya menjadi sukar. Sebenarnya jika Tuan hari ini mengambil keputusan buat menyelesaikan pertikaian politk ini dengan jalan semetinya, yakni perundingan, maka besok hari juga keamanan dan ketentraman akan meliputi seluruh tanah air kita. Oleh karena itu, demi kepentingan rakyat Indonesia, saya menganjurkan Tuan mengambil tindakan berikut:
1.Hentikan agresi terhadap rakyat Aceh, rakyat Jawa Barat, Jawa T engah, rakyat Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah dan Kalimantan.
2. Lepaskan semua tawanan-tawanan politk dari Aceh, Sumatra Selatan, Jawa Barat, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah dan rakyat Kalimantan.
3. Berunding dengan Teungku Muhammad Daud Beureuh, S.M. Kartosuwiryo ,Abdul Kahar Muzakar dan Ibnu Hajar.
Jika sampai tanggal 20 September 1954, anjuran-anjuran ke arah penghentian pertumpahan darah ini tidak mendapat perhatian Tuan, maka untuk menolong miliunan jiwa rakyat yang tidak berdosa yang akan menjadi korban keganasan kekejaman agresi yang Taun kobarkan, saya dan putera-puteri Indonesia yang setia, akan mengambil  tindakan-tindakan berikut:
a) Kami akan membuka dengan resmi perwa-kilan diplomatic bagi “Republik Islam Indo-nesia” diseluruh dunia, termasuk di PBB,  benua Amerika, Asia dan seluruh negara-negara Islam;
 b) Kami akan memajukan kepada General Assembly PBB yang akan dating segala kekejaman, pembunuhan, penganiayaan, dan lain- lain pelanggaran terhadap Human Right yang telah dilakukan oleh regime Komunis–FasisTuan terhadap rakyatAceh. Biarlah forum Internasional mendengarkan perbuatan-perbuatan maha kejam yang pernah dilakukan didunia sejak zamannya Hulagu dan Jenghis Khan. Kami akan meminta PBB mengirimkan Komisi ke Aceh. Biar rakyat Aceh menjadi saksi;
c) Kami akan menuntut regime Tuan dimuka PBB atas kejahatan genocide yang sedang Tuan lakukan terhadap suku bangsa Aceh;
d) Kami akan membawa ke hadapan mata seluruh dunia Islam, kekejaman-kekejaman yang telah dilakukan oleh regime Tuan terhadap para alim ulama di Aceh, Jawa Barat, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan dan Tengah dan sebagainya;
 e) Kami akan mengusahakan pengakuan dunia Internasional terhadap “Republik Islam Indonesia”, yang sekarang de facto menguasai Aceh, sebagian Jawa Barat dan Jawa Tengah, Sulawesi Tengah dan Selatan dan sebagian Kalimantan.
f) Kami akan mengusahakan pemboikotan diplomasi dan ekonomi Internasional terhadap regime Tuan dan penghentian bantuan teknik dan ekonomi PBB, Amerika Serikat dan“Colombo Plan”;
g) Kami akan mengusahakan bantuan moral dan material buat “Republik Islam Indonesia” dalam perjuangannya menghapus regime teroris Tuan dari Indonesia.
Dengan demikian terserah kepada Tuanlah, apakah kita akan menyelesaikan pertikaian politik ini secara antara kita atau sebaliknya.Tuan dapat memilih tetapi kami tidak! Apakah tindakan-tindakan yang saya ambil ini untuk kepentingan bangsa Indonesia atau tidak, bukanlah hak Tuan untuk menentukannya. Allah Subhanahuwa Ta’ala dan 80 juta rakyat Indo- nesialah yang akan menjadi Hakim, yang ke tengah-tengah mereka saya akan kembali didunia, dan kehadiran-Nya saya akan kembali di hari kemudian.
Saya
Hasan Muhammad Tiro
Perhatian Hasan Muhammad Tiro hanya untuk kemanusiaan, khususnya mereka-mereka yang Muslim yang sering menjadi sasaran korban rekayasa politik pihak rezim “Komunis – Fasis” Orde Lama. Tindakan Kabinet Ali Sostroamidjojo dari PNI (Partai Nasional Indonesia) yang tantangan Hasan Muhammad Tiro pertama untuk menghadapi ini, ialah mencabut paspor diplomatik yang di-pegangnya. Tindakan ini telah menyebabkan Hasan Muhammad Tiro sejak 27 September 1954 di tahan oleh Jawatan Imigrasi New York. Akan tetapi setelah membayar uang jaminan sebesar $ 500,00 Hasan Tiro dibebaskan kembali.
Kemudian, setelah lewat 20 September 1954 anjuran-anjuran Hasan Tiro yang tercantum dalam surat kepada Perdana Menteri Ali Sostroamidjojo tidak diindahkam oleh Perdana Menteri tersebut maka ia atas nama Wakil “Republik Islam Indo-nesia” menyerahkan ke PBB dengan mengeluarkan sebuah pernyataan selain membantah tuduhan-tuduhan.
Kemudian delegasi Republik Indonesia untuk PBB mengeluarkan serangkaian fitnah-fitnah keji sebagaimana dicatat M. Noer El Ibrahimy sebagai berikut:
1. Bahwa apa yang dinamakan “Republik Islam Indonesia” itu sejak 1949 telah “menjalankan aksi-aksi subversif dan teror” terhadap Peme-rintah Indonesia yang sah.
2. Bahwa Partai Islam Masyumi telah menjatuhkan hukuman atas golongan Darul Islam seperti dikemukakan beberapa waktu yang lalu.
3. Bahwa wujud sebenarnya gerakan Darul Islam itu adalah sukar ditentukan, karena sudah diinfiltrasi oleh asing dan petualangan
4. Bahwa wujud sebenarnya gerakan Darul Islam telah mendapat kekuatan baru di dalam pem-berontakan di Aceh, tempat Hasan Muhammad Tiro pernah tinggal.
5. Tuduhan-tuduhan terhadap Republik Indonesia itu tidak beralasan dan fantastis serta didasarkan atas berita-berita pers yang tidak dibuktikan, yang merupakan desas-desus belaka.
 6. Bahwa tampaknya Hasan Muhammad Tiro mendapat sokongan dari golongan bukan Indonesia
7. Bahwa tampaknya Hasan Muhammad Tiro, karena “Republik Islam Indonesia” tidak mem-punyai status di dalam organisasi PBB.
8. Bahwa pemerintah Indonesia mampu “pemberontakan-pemberontakan” di dalam berniat teguh untuk mempertahankan mengen-dalikan wilayahnya dan dan menjamin hak,termasuk juga hak-hak manusia, akan tetapi tidak mengecualikan hak-hak nasional rakyatnya di dalam rangka Piagam PBB.
9. Bahwa tiap campur tangan untuk membantu gerombolan Darul Islam akan ditolak dan pada hakekatnya akan merupakan perbuatan yang tidak bersahabat terhadap Republik Indonesia.
 Hasan Muhammad Tiro berjuang keras di New York untuk memasukkan persoalan DI/TII ke dalam forum Perserikatan BangsaBangsa dengan tujuan supaya kepada rakyat Aceh terutama diberi hak menentukan nasib sendiri (Self-determination). Akan tetapi usaha mulianya ini menemukan kegagalan. Umat Islam adalah umat yang sendiri dalam kesunyian dirinya (tahanut nafsi). Umat yang seakanakan tidak dipandang sebagai “manusia” oleh orang-orang lain, apalagi yang non-muslim. Seakan-akan, untuk menjadi manusia, seseorang harus lebih dahulu menanggalkan keislamannya.
Di lain pihak, tindakan tidak dewasa Pemerintah Republik Indonesia menarik paspor Hasan Muhammad Tiro supaya ia diusir dari Amerika Serikat pun tidak berasil. Ternyata orang-orang Amerika, yang otak hatinya lebih bersih ketimbang pimpinan nasionalis sekuler seperti Ali Sostroamidjojo lebih menganggap umat Islam sebagai manusia. Oleh karenanya dengan bantuan beberapa orang Senator, Hasan Muhammad Tiro diterima sebagai penduduk tetap di Amerika Serikat. seorang Orang kafir sendiri masih pejuang Muslim ketimbang memandang dan menghargai pemimpin elit nasional kita. Artinya, elit kepemimpinan nasional Orde Lama Soekarno lebih buruk citranya dibandingkan kafir sekalipun.
Demikian sedikit kupasan Sejarah semoga ini menjadi tongkat sebagai tonggak pegangan Rakyat Aceh supaya selalu menggerakkan Perjuangan untuk mencapai cita-cita kemuliaan,harkat dan Martabat seperti yang telah Indatu jalankan dan perjuankan dulu, Hadjat lôn aneuk, Tadong beukong, Beu meuglong, Lagèë geupula”

Bersambung ke Bagian ke Dua (II)

1*  Al-Chaidar, Sayed Mengungkap Penerapan Status DOM (Daerah Operasi Militer) di Aceh 1989-1999, hal. 27 dst, Pustaka Al-Kautsar, Desember 1998. 32 Sehingga karena peristiwa Mar ini, tidak ada seorangpun yang sudi menamai anaknya dengan awalan “Mar” di Aceh. Tidak ada nama-nama seperti Maryam atau Umar yang lahir ketika itu, karena saking traumatisnya peristiwa itu menusuk ke alam bawah sadar orang-orang Aceh. Trauma ini berlangsung hingga beberapa tahun lamanya.
 2*  Harian Peristiwa, 11 Maret 1954. Mudhahar Ahmad dan Yarmen Dinamika, ACEH BERSIMBAH DARAH

Tidak ada komentar:

Posting Komentar