TRAGEDI PEMBANTAIAN MASSA PULOT-COT JEUMPA
SEBUAH PERISTIWA PEMBANTAIAN RAKYAT ACEH OLEH TNI REPUBLIK INDONESIA DAN PEMAKSAAN PENERAPAN PANCASILA DI ACEH DULU DAN SEKARANG BAGIAN PERTAMA (I)
SEBUAH PERISTIWA PEMBANTAIAN RAKYAT ACEH OLEH TNI REPUBLIK INDONESIA DAN PEMAKSAAN PENERAPAN PANCASILA DI ACEH DULU DAN SEKARANG BAGIAN PERTAMA (I)
Soekarno yang dikenal masyarakat, sebagai penggagas Pancasila, dan
kemudian menjadi Presiden pertama Republik Indonesia. Dan juga Soeharto yang
menjadi arsitek Orde Baru, adalah orang-orang yang mengganggap dirinya sebagai
pengawal setia Pancasila. Dari kedua mantan presiden RI ini, kita ingin memperoleh
potret yang jelas tentang hakekat Pancasila dalam penerapan-nya di tanah air. Di
sini kita akan mencoba menyoroti kedua tokoh tersebut dalam membuat kebijakan
mereka yang didasarkan pada Pancasila, terhadap umat Islam di Aceh khususnya,
dan kaum muslimin di seluruh Indonesia pada umumnya.
Untuk menyoroti hal tersebut, di bawah ini, kami kutipkan tulisan
Al-Chaedar dalam bukunya: Aceh Bersimbah Darah, khususnya
mengenai bagaimana penerapan Pancasila serta akibat-akibat yang ditimbulkannya,
baik di masa orla, orba maupun sekarang ini.
Pancasila di Masa Orla¹ Pada
masa Orde Lama muncul di Aceh apa yang terkenal dengan peristiwa Pulot-Cot
Jeumpa bulan Maret 1954, sehingga peristiwa ini pun disebut peristiwa Mar. Bulan
Maret bagi orang Aceh, tidaklah sesuci megah dan agungnya peringatan peristiwa
11 Maret 1966 dalam kerangka pikir Orde Baru, karena kekejaman tentara Republik
di bulan itu telah demikian traumatis bagi rakyat Aceh. Dalam peristiwa
Pulot-Cot Jeumpa ini, berkaitan dengan Darul Islam (1953-1964) di Aceh, tentara
Nasional Indonesia dengan brutal membantai anak-anak bayi, wanita dan
orang-orang tua yang sudah uzur. Angkatan perang Republik ini memang terlihat
begitu kuat dan perkasanya di hadapan “musuh-musuh” hamba la’eh (kaum lemah) di
Aceh ini. Di headline Surat kabar “Peristiwa” yang terbit di Koetaradja (Kini
Banda Aceh) memuat berita tragis tentang pembantaian manusia secara keji dan
tak berperikemanusiaan: “99 orang penduduk di daerah Pulot Cot Jeumpa (Aceh
Besar) yang tidak berdosa dibantai oleh alat negara² Berita yang dikutip oleh beberapa harian di
Jakarta, serta menimbulkan beberapa atmosfir kesedihan masyarakat Aceh di Jakarta,
serta menimbulkan beberapa pertanyaan. Apakah benar, alat negara membantai
rakyatnya sendiri, lebih-lebih rakyat yang tidak berdosa? Apakah mungkin ada
kekejaman yang demikian biadab terjadi di Tanah air ini?. Dalam setiap
peperangan apa saja bisa terjadi. Tidak mustahil ayah membunuh anaknya,
demikian juga sebaliknya.
Betapa terkejutnya dan prihatinnya orang-orang Aceh di Jakarta, demikian
juga di tempat-tempat lain mendengar berita peperangan di Aceh bulan September
1953, kurang lebih enam bulan sebelum berlalu hampir dapat dilihat sebagai
suatu unjuk rasa politik dengan memakai cara seccesionist movement, tetapi
peristiwa Pulot-Cot Jeumpa telah merupakan pembunuhan dengan sengaja dan meriah
terhadap rakyat yang lemah oleh sebagian alat negara yang tidak bertanggung
jawab.
Sudah barang tentu pemerintah pada waktu itu dibawah Perdana Menteri Ali
Sastroamidjojo (dari Partai Nasional Indonesia/PNI) membantah keras bahwa alat
negara telah melakukan pembunuhan massal seperti diberitakan oleh sementara
surat kabar baik yang terbit di daerah maupun yang di Jakarta. Apakah yang
sebenarnya yang telah terjadi di tempat yang dinamakan Pulot Cot Jeumpa. Dua
desa kecil dalam kabupaten Aceh Besar, di daerah kecamatan Lho’ Nga kurang
lebih 15 km dari ibu kota propinsi Aceh Koetaraja. Desa itu didiami hampir 100%
para nelayan di tepi pantai samudera Indonesia yang indah. Peristiwanya
dikisahkan sebagai berikut.
Pada suatu hari di bulan Maret 1954 dalam rangka operasi militer
mengejar pemberontak, melewati desa kecil dan guyub sebuah iring-iringan truk
militer tersebut. Sesampainya di sebuah jembatan yang terletak di kampung
Pulot, secara mendadak iringiringan militer itu dihadang oleh gerombolan
pemberontak. Tembakmenembak terjadi antara militer dengan pemberontak. Korban
pun berjatuhan di kedua belah pihak, sedang gerombolan pemberontak melarikan
diri ke hutan melalui kedua kampung yang namanya menjadi tenar itu. Sudah
barang tentu militer tidak bisa tinggal diam menghadapi hadangan itu. Mereka
segera meminta tambahan bantuan tenaga dari Koetaraja. Hari ini juga diadakan
operasi besar-besaran dalam kampung Pulot dan Cot Jeumpa, dalam rangka mengejar
pejuang DI/TII yang diduga keras bersembunyi di sekitar kampung tersebut.
Di sini mulainya tragedi itu. Rakyat dari kedua kampung itu tidak ada
seorang pun yang dapat memberi keterangan, ke mana larinya pemberontak yang
menghadang tadi. Semua mereka mejawab tidak tahu. Jawaban-jawaban yang kurang
mem-bantu itu, membuat suasana menjadi panik. Batalyon 142 lantas mengamuk dan
secara membabi buta memuntahkan peluru senjatanya ke arah rakyat, sasaran tak
berdosa itu. Akibatnya 99 orang rakyat sipil meninggal dunia. Tidaklah terlalu
salah jika banyak orang berkesimpulan bahwa Tentara Nasional Indonesia hanya
bertujuan membunuh rakyat semata, bukan melindunginya. Apalagi dengan berada di
bawah kepemimpinan Jendral-jendral non muslim, tujuan itu semakin jelas “Pemberangusan
embrio muslim dimanapun diseluruh Indonesia”.
Serangan terhadap muslim di
Indonesia memang menyedihkan, tidak hanya cukup dengan serangan-serangan
ideologis, tapi juga serangan-serangan fisik. Leher orang-orang Muslim
dianggapnya lebih murah ketimbang leher seekor kambing sehingga dapat dengan
leluasanya kaum Muslimin dimana pun digorok hidup-hidup, sembari menitipkan
pesan bahwa si mati adalah GPK atau pemberontak. Di Aceh kebutuhan yang hampir
terlupakan dalam adu kekuatan antara pasukan pemerintah dan Darul Islam kembali
menarik perhatian dunia luar ketika sebuah surat kabar setempat, Peristiwa,
menulis kepala berita “Darah membanjiri tanah Rencong” pada awal maret.
Surat kabar itu memberitakan hampir seratus orang penduduk desa di
kabupaten Aceh Besar dibantai oleh tentara dalam dua insiden pada akhir
pebruari; kejadian ini sebagai peristiwa Pulot-Cot Jeumpa. Peristiwa pertama
terjadi pada tanggal 26 pebruari ketika satu peleton pasukan yang kalap dari
Batalyon 142 (dari Sumatera Barat) secara semena-mena menembak mati dua puluh
lima petani di Cot Jeumpa, sebuah kampung dekat Koetaraja. Kejadian ini diikuti
oleh kekejaman lainnya dua hari kemudian di sebuah yang berdekatan Koetaraja
juga yaitu kampung Pulot Kecamatan Leupueng, di mana anggota Batalyon yang sama
membantai enam puluh empat nelayan, yang berusia sebelas sampai seratus tahun,
dan melukai lima orang lainnya. Surat kabar ini juga mem-beritakan bahwa dalam
dua peristiwa tersebut tentara memasuki dua kampung itu dan mengumpulkan semua
pria dari rumah-rumah atau tempat kerja mereka dan menembak mereka tanpa
selidik terlebih dahulu, sementara jalan raya ditutup bagi lalu lintas. Mereka
yang luka-luka atau yang tidak berada di desa ketika pembantaian itu
berlangsung menyembunyikan diri dan melapor kejadian itu kepada surat kabar
tersebut. Bersamaan dengan itu muncul teror yang mengancam dari tentara.
Kenyataan itu telah dipahami secara salah bahwa pembantaian merupakan tindakan
balas dendam atau serangan Darul Islam terhadap suatu unit tentara dari
Batalyon 142 beberapa hari sebelumnya di dekat kedua kampung tersebut. Dalam
serangan itu lima belas tentara yang berasal dari Sumatera Barat telah
terbunuh. Dendam terhadap serangan itu menyebabkan sebuah unit lain dari
Batalyon tersebut, dibawah pimpinan Letnan Munir Zein, mengumpulkan semua pria
yang ada di dalam kedua kampung itu dan membunuh mereka. Mengingat kekejaman
pasukan dari Sumatera Barat dan Tapanuli dalam operasioperasi mereka di Aceh,
sebenarnya tidak ada alasan bagi kita untuk meragukan terjadinya pembantaian.
Banyak anggota dari unit-unit Sumatera Barat terlibat dalam segala macam
kekejaman, mulai dari pemerkosaan, ancaman, perampasan, judi, penyiksaan,
sampai pembunuhan. Seakan-akan menonjolkan superio-ritas etnis mereka, dalam
setiap kesempatan anggota-anggota pasukan tersebut membanggakan diri kepada
penduduk desa “Ini anak Padang”.
Agaknya hal ini mengungkapkan antagonisme antara etnis di antara suku Minangkabau
dan Aceh, di mana rakyat Aceh, sebagai akibat pengalaman sejarah, merasa diri
lebih unggul atas suku Minangkabau yang pernah takluk pada mereka di abad-abad
sebelumnya. Sebenarnya, ini hanyalah strategi militer yang menganut sistem
cross-cutting integration a la Napoleon dalam memecah belah suatu bangsa dan
juga pernah diterapkan oleh Belanda terhadap negeri jajahannya yaitu taktik
devide at empera (Politik adu domba). Sistem ini pulalah yang dianut rezim Orde
Lama Soekarno yang namanya begitu “harum” di depan hidung orang-orang yang awam
politik.
Mula-mula kejadian ini dicoba hendak ditutup-tutupi, tetapi harian
Peristiwa Aceh, yang terbit di Koetaraja membeberkan kejadian tersebut,
sehingga great expose di Jakarta, Medan, Bandung dan Yogyakarta. Ada beberapa
orang Aceh yang tinggal di Luar Negeri ingin membawa masalah itu ke forum PBB
di Nem York. Masyarakat Aceh di Jakarta, melalui perhim-punan masyarakat Aceh
Taman Iskandar Muda (TIM), mulai berfikir untuk mencari penyelesaian terbaik
bagi bangsa ini. Namun, idialisme hanya sampai tahap awal tentang bagimana
baiknya mengadakan “pendekatan” dengan pemerintah pusat untuk menanyakan sampai
berapa jauh kebenaran berita yang dimuat di surat-surat kabar. Orang-orang
politik, terutama yang duduk di DPR seperti Amelz dan ustadz Nur El Ibrahimy
bertanya lewat forum DPR. Orang-orang Aceh yang duduk dalam pemerintahan, juga
menjajaki melalui instansi masing-masing . Kalau benar, bagaimana pertanggung
jawaban oknum yang terlibat dalam peristiwa tersebut.Yang lebih penting,
bagaimana hal yang demikian tidak terulang lagi.
Orang-orang Aceh yang terdiri dari rakyat biasa, menanggapi peristiwa
itu dengan emosi yang meluap-luap. Dalam menghadapi Peristiwa Pulot-Cot Jeumpa
ini, orang-orang Aceh di Jakarta kompak. Satu saran mereka yang positif, yaitu
semuanya harus diselesaikan melalui jalur hukum yang berlaku. Padahal Negara
yang berdasarkan hukum ini sama-sekali “tidak memakai hukum” untuk
menyelesaikan persoalan-persoalan politik. Semuanya cukup dengan sebuah
rekayasa, sebuah “musyawarah yang dipaksakan”. Pengurus Taman Iskandar Muda
mengadakan rapat pleni di Jalan Tosari 29 sepatutnya diambil Jakarta
membicarakan langkah-langkah yang oleh pengurus, baik untuk intern menghadapi
orang-orang Aceh di Jakarta maupun ekstern menghadapi pemerintah pusat. Juga
diperbincangkan sikap kebersamaan apa yang selayaknya ditempuh oleh Badan
Kontak Organisasi Aceh yang baru dibentuk beberapa bulan sebelumnya.
Tiga puluh delapan hari setelah meletus Peristiwa Daud Beureuh, Perdena
Menteri Ali Sostroamidjojo memberi Keterangan Pemerintah mengenai peristiwa
tersebut di dalam rapat pleno terbuka DPR-RI pada tanggal 28 Oktober 1953.
Pemerintah menganggap bahwa apa yang terjadi di Aceh pada tanggal 21 September
itu adalah Pemberontakan Daud Beureuh dengan segelintir kawan-kawan dan
pengikut-pengikutnya, bukan pemberontakan rakyat Aceh. Akan tetapi kalau kita
mengetahui bahwa hampir seluruh rakyat Aceh terlibat dalam pemberontakan itu,
baik secara aktif maupun dengan memberikan bantuan di belakang layar, demikian
juga seluruh instansi mulai dari pamong raja (bupati, wedana sampai kepada
camat) jawatan-jawatan terutama jawatan agama sampai kepada polisi, banyak
orang beranggapan bahwa pemberontakan itu adalah pemberontakan rakyat Aceh yang
total.
Keterangan Pemerintah bagian kedua, yaitu yang mengenai latar belakang
peristiwa, menge-sankan seakan-akan Keterangan Pemerintah ini duplikat dari
laporan yang disodorkan oleh golongan yang pada waktu itu disebut “sisa-sisa
feodal”, yaitu laporan yang selalu dilontarkan oleh mereka terhadap Teungku
Muhammad Daud Beureueh yang berjumlah 4000 orang itu adalah sumbangan dari
Borsumij, suatu perusahaan Belanda. Bagaimana dapat masuk diakal, PUSA mau
menerima sumbangan dari musuhnya? Bagimana pula Borsumij mau memberi sumbangan
kepada musuh negaranya? Dikatakan pula bahwa PUSA menerima sumbangan dari
Amerika Serikat sebanyak $ 15.000.000,00 untuk membendung komunisme. Seterusnya
dikatakan bahwa pimpinan-pimpinan PUSA mempunyai saham dalam NV Republik
Indonesia. Sedang dalam rancangan keterangan Pemerintah yang terakhir (kode
S1171/53 yang terdiri dari 22 butir) sebagian daripada tuduhan-tuduhan yang
keterlaluan itu telah dihi-langkan karena jelas benar kebohongannya.
Kemudian pada tanggal 2 November 1953 Pemerintah berdiri lagi di depan
DPR-RI memberi jawaban atas pandangan umum para anggota yang telah berbicara
pada babak pertama mengenai Keterangan Pemerintah yang diberikan pada tanggal
28 Oktober 1953. Satu hal yang sangat tidak jujur bahwa setelah selesai
Pemerintah meng-ucapkan jawabannya, pemandangan umum babak kedua langsung
ditutup. Para anggota tidak diberi kesempatan lagi untuk mengucapkan
peman-dangan umumnya pada babak kedua untuk menguji jawaban Pemerintah.Hal itu
merupakan pengurangan hak hak demokrasi.
Seterusnya pada tanggal 13 April 1954 untuk ketiga kalinya Pemerintah
memberi keterangan di dalam rapat paripurna terbuka DPR-RI mengenai peristiwa
Cot Jeumpa, yang oleh harian Peristiwa yang terbit dari Kutaraja disebut
“banjir darah yang membasahi bumi Tanah Rencong”, karena 64 orang penduduk yang
tidak berdosa telah menjadi korban tindakan alat negara yang tidak bertanggung
jawab. Dari keterangan Pemerintah, baik yang di-ucapkan di dalam DPR, maupun
yang diberikan di luar DPR, dapat diambil kesimpulan bahwa :
dalam penyesuaian Peristiwa Daud Beureuh ini Pemerintah mempergunakan
tangan besi, yaitu kekerasan senjata untuk membasmi yang memberontak dengan
senjata Republik Indonesia.
Anggota-anggota oposisi (Mr. dengan mengambil tindakan
“gerombolan-gerombolan” liar terhadap Pemerintah Negara Kasman Singo-dimedjo,
Mr. Mohammad Dalijono, Amelz dan M. Nur El Ibrahimy) yang tidak menyetujui
kebijak-sanaan politik Pemerintah mengenai Peristiwa Daud Beureueh, oleh
Perdana Menteri Ali Sastro-amidjojo dikatakan “seakan-akan memberi kesan hendak
membela pemberontak yang sudah nyata-nyata mengenai penulis merugikan negara
dan bangsa kita.” Khusus dalam keterangannya yang terakhir sebelum kabinetnya
jatuh, Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo mencap M. Nur El Ibrahimy “sebagai
pembela pemberontak yang setia”. “Tak ada kesalahan yang M. Nur El Ibrahimy perbuat,
selain menentang kebijaksanaan Pemerintah dan mengupas tanpa tedeng aling-aling
tindakan alat-alat negara yang melampaui batas-batas hukum dan melanggar
garis-garis peri-kemanusiaan terutama yang dilakukan oleh anak buah Simbolon
yang tergabung dalam Batalyon B dan anak buah Mayor Sjuib yang tergabung dalam
Batalyon 142. Mereka ini terlibat dalam pembantaian di Cot Jeumpa dan
sekitarnya (Pulot/Leupung dan Cot Jeumpa/Kroeng Kala) yang menewaskan 99 orang
penduduk yang tidak berdosa, sehingga menimbulkan protes yang keras dari
seluruh rakyat Aceh terutama pelajar dan mahasiswa.
Pada mulanya pemerintah membantah dengan keras adanya tindakan alat-alat
negara yang melampaui batas itu. Akan tetapi kemudian tatkala terjadi
pemberontak PRRI (Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia) dan Simbolon
terlibat di dalamnya, Soedibjo – Menteri Penerangan pada waktu itu mengutuk dan
mencaci maki Simbolon dengan membongkar perbuatan anak buahnya yang telah
melakukan kekejaman dan pembantaian terhadap rakyat Aceh pada waktu mereka
bertugas memulihkan keamanan di daerah Aceh dalam rangkaian Peristiwa Daud
Beureuh.
Kemudian, setelah Takengong dan Tangse diduduki, pemerintah merasa
optimis bahwa keamanan akan dipulihkan pada bulan Maret 1954. Ternyata anggapan
pemerintah ini pun meleset. Bahkan, sampai Kabinet Ali jatuh pada tahun 1955,
keamanan di Aceh belum dapat dipulihkan. Benar, Tangse dan Takengong diduduki
pasukan pemerintah maka pertempuran besar-besaran yang dimulai 21 September
1953 tidak terjadi lagi. Akan tetapi, sejak saat itu tejadilah apa yang
dinamakan “gangguan keamanan” terus menerus di mana-mana, bukan saja di
kampung-kampung akan tetapi juga di kota-kota. Terjadi penyerangan
kecil-kecilan terhadap penghadangan-penghadangan terhadap rangan terhadap
konvoi-konvoi yang mengangkut perbekalan. pos-pos tentara, dan patroli-patroli
dan penyemembawa pasukan atau Dipandang dari segi kemiliteran pada saat itu
potensi kaum pemberontak memang tidak mem-bahayakan lagi, Akan tetapi, dilihat
dari sudut keamanan rakyat, gangguan itu langsung menimpa diri mereka .Kalau
dalam taraf pertama hanya alat-alat negara (tentara dan satuan Brimob) atau
gerombolan yang menjadi sasaran, maka dalam taraf yang kedua sasaran langsung
adalah rakyat, baik dari alat-alat negara, maupun adri pihak gerombolan.
pertama berpendapat bahwa potensi militer gerombolah sudah patah, mereka
sudah lumpuh dan terpecah-pecah serta terdesak ke hutan-hutan dan mengalami
kelaparan. Yang kedua, berpendapat bahwa gerombolan mengubah taktik, mereka
tidak mau memboroskan tenaga dengan jalan menghindari pertempuran
besar-besaran. Mereka melakukan pengadaan-pengadaan yang sedapat mungkin
efektif dengan kekuatan yang sekecil-kecilnya serta mengadakan ganggguan
keamanan yang merupakan pula perang urat saraf. Pemerintah dan pejabat-pejabat
di pusat lebih mempercayai pendapat yang pertama sehingga timbul keamanan
segera rasa optimistis yang berlebih-lebihan bahwa pulih kembali. Akan tetapi
mereka langsung menghadapi peristiwa di daerah yaitu Staf Keamanan di Koetaraja
memandang bahwa keadaan dalam tahap cukup kritis dan lebih membahayakan. Selain
rakyat yang langsung menjadi sasaran kedua pihak, roda pemerintahan tidak bisa
berjalan sebagaimana mestinya. Pamongpraja yang diangkat oleh Gubernur Sumatra
Utara, Mr. S. M. Amin, untuk mengisi lowongan yang ditimbulkan oleh
pem-berontak, tidak melakukan tugasnya karena 80% daripadanya terdiri
“sisa-sisa feodal”. Mereka tidak berani menempati posnya yang jauh dari kota
karena takut kepada gerombolan. Mengenai hal ini Bupati A. Wahab,
Ketua/Koordinator Staf Keamanan berkata, “ Tetapi yang paling menyukarkan ialah
Pamong praja atau pegawai yang telah ditetapkan untuk suatu tempat tidak ada
yang berani tinggal di tempatnya itu kalau tidak dikawal oleh alat Negara yang bersenjata.”
Pendeknya, gangguan keamanan yang oleh Pemerintah diharapkan dapat
berakhir dalam waktu yang singkat, sampai kabinet Ali Sostroamidjojo jatuh pada
tahun 1955 belum teratasi. Pada permulaan bulan September 1954, genap setahun
sesudah pecahnya Peristiwa Daud Beureuh, seperti halilintar di tengah hari
ma-syarakat Indonesia di Ibukota RI termasuk Kabinet Ali Sostroamidjojo
dikejutkan oleh munculnya seorang putera Aceh bernama Hasan Muhammad Tiro
berdiam di New York, sebagai mahasiswa fakultas hukum pada Colombia Universty,
dan sebagai seorang staf perwakilan Indonesia di New York, dia tidak pernah
dikenal oleh masyarakat Indonesia apalagi oleh masyarakat internasioanal. Ia
bertempat tinggal di 454 Riverside Drive, New York dan mempunyai kantor di
jalan terbesar yaitu di 489 Fifth Avenue, New York 17. Sejak bulan September
1954 dengan tiba-tiba nama Hasan Muhammad Tiro bukan saja dikenal oleh
masyarakat Indonesia, akan tetapi juga oleh dunia internasional. Ia muncul
sebagai “Duta Besar Republik Islam Indonesia” di Amerika Serikat dan
Perserikatan Bangsa-Bangsa, dengan sebuah surat terbuka kepada Perdana Ali
Sostroamidjojo. Surat ini disiarkan oleh suat-surat kabar Amerika dan
surat-surat kabar Indonesia yang terbit di Jakarta seperti Abadi, Indonesia
Raya dan Keng Po.
Dalam surat ini Hasan Muhammad Tiro menuduh Pemerintah Ali
Sostroamidjojo telah menyeret bangsa Indonesia ke dalam lembah keruntuhan
ekonomi dan politik, perpecahan dan perang saudara, serta memaksa mereka
bunuh-membunuh sesama saudara. Di samping itu pemerintah Ali Sostroamidjojo
telah melakukan pula kejahatankejahatan genocideterhadap rakyat sipil Aceh.
Suatu tindakan biadab dan primitif yang dilakukan oleh sebuah rezim negara
Republik modern di bawah naungan Pancasila di mana hal ini sudah tentu teramat
sangat bertentangan dengan Piagam Perserikatan BangsaBangsa. Isi surat Hasan
Muhammad Tiro itu adalah sebagai berikut:
N ew York, 1September 1954
Kepada Tuan Perdana Menteri
Ali Sastroamidjojo
Jakarta
Dengan hormat,
Sampai hari ini sudah lebih setahun lamanya Tuan memegang kendali pemerintahan
atas tanah air dan bangsa kita. Dalam pada itu alangkah sayangnya,
kenyataan-kenyataan sudah membuktikan bahwaTuan,bukan saja telah tidak mempergunakan
kekuasaan yang telah diletakkan di tangan Tuan itu untuk membawa kemakmuran,
ketertiban, keamanan, keadilan dan persatuan di kalangan bangsa Indonesia,
tetapi sebaliknya Tuan telah dan sedang terus menyeret bangsa Indonesia ke
lembah keruntuhan ekonomi dan politk, kemelaratan,
perpecahan, dan perang saudara. Belum pernah selama dunia berkembang, tidak
walaupun di masa penjaahan, rakyat Indonesia
dipaksa bunuh membunuh antara sesama saudaranya secara yang begitu meluas
sekali sebagaimana sekarang sedang Tuan paksakan di Aceh, di Jawa Barat, di JawaTengah,
di Sulawesi Selatan, di Sulawesi Tengah dan Kalimantan. Ataukah zaman penjajahan
baru sudah datang ke Indonesia di mana
hanya kaum Komunis yang mengecap kemerdekaan, sedang yang lain-lain harus dibunuh
mati?
Lebih dari itu lagi, Tuanpun tidak segan-segan memakai politk “pecah dan
jajah” terhadap suku-suku bangsa di luar Jawa. Bahkan untuk menghancurkan persatuan
dikalangan suku bangsa Aceh, Tuan pun mengaku begitu membencinya. Tetapi
ketahuilah, politk kotor Tuan ini bukan saja sudah gagal, bahkan karenanya, kami
rakyat Aceh semakin bersatu padu menentang tiap penindasan dari regime
Komunis–Fasis Tuan. Lebih rendah
di segala-galanya, Tuan sekarang sedang melakukan kejahaan politik yang
sejahat-jahatnya yang bisa di perbuat dalam negara yang terdiri dari suku-suku
bangsa sebagai hal nya Indonesia mengadu-dombakan satu suku bangsa dengan suku
bangsa yang lain, mengadudombakan suku bangsa Kristen dengan sukubangsa Islam, suku
Djawa dengan suku Ambon dan suku Batak Kristen dengan suku Aceh Islam. DanTuan mengatakan
bahwaTuan telah memperbuat semua ini atas nama persatuan nasioanal dan
patriotsme! Rasanya tak ada suatu contoh yang lebih tepat dari pepatah yang
mengatakan bahwa patriotisme itu adalah tempat perlindungan yang terakhir bagi seorang
penjahat!
Sampai hari ini sembilan tahun sesudah tercapainya kemerdekaan bangsa,
sebagian besar bumi Indonesia masih terus digenangidarah dan air mata putera-puterinya
yang malang, diAceh, di Jawa Barat, di Jawa Tengah, di Sulawesi Selatan, di Sulawesi
Tengah dan Kalimantan, yang kesemuanya terjadi karenaTuan ingin melakukan
pembunuhan terhadap lawan-lawan politk Tuan. Seluruh rakyat Indonesia
menghendaki penghentian pertum-pahan darahyang maha kejam ini sekarang juga, dengan
jalan musyawarah antara kita sama kita.TetapiTuan dan kaum Komunis lainnya, sedang
terus mengeruk keuntung-an yang sebesar-besarnya dari kesengsaraan rakyat ini,
dan hanya Tuan sendirilah yang terus berusaha memperpanjang agresinya terhadap
rakyat Indonesia ini. Dan sekarang, belum puas dengan darah yang sudah
tertumpah, harta benda yang sudah musnah, ratusan ribu jiwa yang sudah
melayang, Tuan sedang merencanakan pula buat melancarkan agresi yang lebih
hebat, dahsyat dan kejam lagi terhadap rakyat Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah,
Jawa Barat, Jawa Tengah, Kalimantan dan
Aceh. Tetapi Tuan akan menge-tahui dengan segera bahwa jiwa merdeka, harga diri,
dan kecintaan suku-suku bangsa ini kepada keadilan, tidak dapat tuan tindas
dengan senjata apa pun juga. Rakyat Indonesia sudah merebut kemerdekaannya dari
penjaah Belanda. Pastilah sudah mereka tidak akan membiarkan Tuan merebut
kemerdekaan itu dari mereka, juga tidak
akan membiarkan Tuan menukarnya dengan penjajahan medel baru.
P ersoalan yang dihadapi Indonesia bukan tidak bias dipecahkan,
tetapiTuanlah yang mencoba membuatnya menjadi sukar. Sebenarnya jika Tuan hari
ini mengambil keputusan buat menyelesaikan pertikaian politk ini dengan jalan
semetinya, yakni perundingan, maka besok hari juga keamanan dan ketentraman
akan meliputi seluruh tanah air kita. Oleh karena itu, demi kepentingan rakyat
Indonesia, saya menganjurkan Tuan mengambil tindakan berikut:
1.Hentikan agresi terhadap rakyat Aceh, rakyat Jawa Barat, Jawa T engah,
rakyat Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah dan Kalimantan.
2. Lepaskan semua tawanan-tawanan politk dari Aceh, Sumatra Selatan,
Jawa Barat, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah dan rakyat Kalimantan.
3. Berunding dengan Teungku Muhammad Daud Beureuh, S.M. Kartosuwiryo ,Abdul
Kahar Muzakar dan Ibnu Hajar.
Jika sampai tanggal 20 September 1954, anjuran-anjuran ke arah
penghentian pertumpahan darah ini tidak mendapat perhatian Tuan, maka untuk menolong
miliunan jiwa rakyat yang tidak berdosa yang akan menjadi korban keganasan kekejaman
agresi yang Taun kobarkan, saya dan putera-puteri Indonesia yang setia, akan
mengambil tindakan-tindakan berikut:
a) Kami akan membuka dengan resmi perwa-kilan diplomatic bagi “Republik Islam
Indo-nesia” diseluruh dunia, termasuk di PBB, benua Amerika, Asia dan seluruh negara-negara Islam;
b) Kami akan memajukan kepada General
Assembly PBB yang akan dating segala kekejaman, pembunuhan, penganiayaan, dan lain-
lain pelanggaran terhadap Human Right yang telah dilakukan oleh regime Komunis–FasisTuan
terhadap rakyatAceh. Biarlah forum Internasional mendengarkan
perbuatan-perbuatan maha kejam yang pernah dilakukan didunia sejak zamannya Hulagu
dan Jenghis Khan. Kami akan meminta PBB mengirimkan Komisi ke Aceh. Biar rakyat
Aceh menjadi saksi;
c) Kami akan menuntut regime Tuan dimuka PBB atas kejahatan genocide yang
sedang Tuan lakukan terhadap suku bangsa Aceh;
d) Kami akan membawa ke hadapan mata seluruh dunia Islam, kekejaman-kekejaman
yang telah dilakukan oleh regime Tuan terhadap para alim ulama di Aceh, Jawa Barat,
Jawa Tengah, Sulawesi Selatan dan Tengah dan sebagainya;
e) Kami akan mengusahakan
pengakuan dunia Internasional terhadap “Republik Islam Indonesia”, yang
sekarang de facto menguasai Aceh, sebagian Jawa Barat dan Jawa Tengah, Sulawesi
Tengah dan Selatan dan sebagian Kalimantan.
f) Kami akan mengusahakan pemboikotan diplomasi dan ekonomi
Internasional terhadap regime Tuan dan penghentian bantuan teknik dan ekonomi PBB,
Amerika Serikat dan“Colombo Plan”;
g) Kami akan mengusahakan bantuan moral dan material buat “Republik
Islam Indonesia” dalam perjuangannya menghapus regime teroris Tuan dari Indonesia.
Dengan demikian terserah kepada Tuanlah, apakah kita akan menyelesaikan
pertikaian politik ini secara antara kita atau sebaliknya.Tuan dapat memilih tetapi
kami tidak! Apakah tindakan-tindakan yang saya ambil ini untuk kepentingan bangsa
Indonesia atau tidak, bukanlah hak Tuan untuk menentukannya. Allah Subhanahuwa Ta’ala
dan 80 juta rakyat Indo- nesialah yang akan menjadi Hakim, yang ke
tengah-tengah mereka saya akan kembali didunia, dan kehadiran-Nya saya akan kembali
di hari kemudian.
Saya
Hasan Muhammad Tiro
Perhatian Hasan Muhammad Tiro hanya untuk kemanusiaan, khususnya
mereka-mereka yang Muslim yang sering menjadi sasaran korban rekayasa politik
pihak rezim “Komunis – Fasis” Orde Lama. Tindakan Kabinet Ali Sostroamidjojo
dari PNI (Partai Nasional Indonesia) yang tantangan Hasan Muhammad Tiro pertama
untuk menghadapi ini, ialah mencabut paspor diplomatik yang di-pegangnya.
Tindakan ini telah menyebabkan Hasan Muhammad Tiro sejak 27 September 1954 di
tahan oleh Jawatan Imigrasi New York. Akan tetapi setelah membayar uang jaminan
sebesar $ 500,00 Hasan Tiro dibebaskan kembali.
Kemudian, setelah lewat 20 September 1954 anjuran-anjuran Hasan Tiro
yang tercantum dalam surat kepada Perdana Menteri Ali Sostroamidjojo tidak
diindahkam oleh Perdana Menteri tersebut maka ia atas nama Wakil “Republik
Islam Indo-nesia” menyerahkan ke PBB dengan mengeluarkan sebuah pernyataan
selain membantah tuduhan-tuduhan.
Kemudian delegasi Republik Indonesia untuk PBB mengeluarkan serangkaian
fitnah-fitnah keji sebagaimana dicatat M. Noer El Ibrahimy sebagai berikut:
1. Bahwa apa yang dinamakan “Republik Islam Indonesia” itu sejak 1949 telah
“menjalankan aksi-aksi subversif dan teror” terhadap Peme-rintah Indonesia yang
sah.
2. Bahwa Partai Islam Masyumi telah menjatuhkan hukuman atas golongan
Darul Islam seperti dikemukakan beberapa waktu yang lalu.
3. Bahwa wujud sebenarnya gerakan Darul Islam itu adalah sukar
ditentukan, karena sudah diinfiltrasi oleh asing dan petualangan
4. Bahwa wujud sebenarnya gerakan Darul Islam telah mendapat kekuatan
baru di dalam pem-berontakan di Aceh, tempat Hasan Muhammad Tiro pernah
tinggal.
5. Tuduhan-tuduhan terhadap Republik Indonesia itu tidak beralasan dan
fantastis serta didasarkan atas berita-berita pers yang tidak dibuktikan, yang
merupakan desas-desus belaka.
6. Bahwa tampaknya Hasan Muhammad
Tiro mendapat sokongan dari golongan bukan Indonesia
7. Bahwa tampaknya Hasan Muhammad Tiro, karena “Republik Islam
Indonesia” tidak mem-punyai status di dalam organisasi PBB.
8. Bahwa pemerintah Indonesia mampu “pemberontakan-pemberontakan” di
dalam berniat teguh untuk mempertahankan mengen-dalikan wilayahnya dan dan
menjamin hak,termasuk juga hak-hak manusia, akan tetapi tidak mengecualikan
hak-hak nasional rakyatnya di dalam rangka Piagam PBB.
9. Bahwa tiap campur tangan untuk membantu gerombolan Darul Islam akan
ditolak dan pada hakekatnya akan merupakan perbuatan yang tidak bersahabat
terhadap Republik Indonesia.
Hasan Muhammad Tiro berjuang
keras di New York untuk memasukkan persoalan DI/TII ke dalam forum Perserikatan
BangsaBangsa dengan tujuan supaya kepada rakyat Aceh terutama diberi hak menentukan
nasib sendiri (Self-determination). Akan tetapi usaha mulianya ini menemukan
kegagalan. Umat Islam adalah umat yang sendiri dalam kesunyian dirinya (tahanut
nafsi). Umat yang seakanakan tidak dipandang sebagai “manusia” oleh orang-orang
lain, apalagi yang non-muslim. Seakan-akan, untuk menjadi manusia, seseorang
harus lebih dahulu menanggalkan keislamannya.
Di lain pihak, tindakan tidak dewasa Pemerintah Republik Indonesia
menarik paspor Hasan Muhammad Tiro supaya ia diusir dari Amerika Serikat pun
tidak berasil. Ternyata orang-orang Amerika, yang otak hatinya lebih bersih
ketimbang pimpinan nasionalis sekuler seperti Ali Sostroamidjojo lebih
menganggap umat Islam sebagai manusia. Oleh karenanya dengan bantuan beberapa
orang Senator, Hasan Muhammad Tiro diterima sebagai penduduk tetap di Amerika
Serikat. seorang Orang kafir sendiri masih pejuang Muslim ketimbang memandang
dan menghargai pemimpin elit nasional kita. Artinya, elit kepemimpinan nasional
Orde Lama Soekarno lebih buruk citranya dibandingkan kafir sekalipun.
Demikian sedikit kupasan Sejarah semoga ini
menjadi tongkat sebagai tonggak pegangan Rakyat Aceh supaya selalu menggerakkan
Perjuangan untuk mencapai cita-cita kemuliaan,harkat dan Martabat seperti yang
telah Indatu jalankan dan perjuankan dulu, “Hadjat lôn aneuk, Tadong beukong, Beu meuglong, Lagèë
geupula”
Bersambung ke Bagian ke Dua (II)
1* Al-Chaidar, Sayed Mengungkap Penerapan Status
DOM (Daerah Operasi Militer) di Aceh 1989-1999, hal. 27 dst, Pustaka
Al-Kautsar, Desember 1998. 32 Sehingga karena peristiwa Mar ini, tidak ada
seorangpun yang sudi menamai anaknya dengan awalan “Mar” di Aceh. Tidak ada
nama-nama seperti Maryam atau Umar yang lahir ketika itu, karena saking
traumatisnya peristiwa itu menusuk ke alam bawah sadar orang-orang Aceh. Trauma
ini berlangsung hingga beberapa tahun lamanya.
2* Harian Peristiwa, 11 Maret 1954. Mudhahar
Ahmad dan Yarmen Dinamika, ACEH BERSIMBAH DARAH
Tidak ada komentar:
Posting Komentar